Berangkat dari situasi historis dan politis yang menempatkan Islam sebagai agama yang paling dipersalahkan atas terjadinya berbagai teror yang melanda dunia, mendorong banyak kalangan intelektual Islam, terpanggil untuk turut mendudukkan makna Islam sesungguhnya, baik pada publik Islam sendiri, sebagai upaya pencegahan bangkitnya ekstrimisme, juga pada publik di luar Islam sebagai ikhtiar menepis tudingan yang keliru pada Islam. Di sinilah letak persoalannya. Kebutuhan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama ramah, dan toleran via narasi
Islam rahmatan lil 'alamin, meski telah memberi jawaban yang kokoh atas kegalauan berpikir di seputar tafsir dan praktik beragama yang fanatik, namun di sisi lainnya, justru telah mendegradasi universalitas
rahmatan lil 'alamin itu sendiri, yang hanya berkutat pada persoalan pluralitas dan multikulturalitas. Universalitas dan keluasan aspek
rahmatan lil 'alamin, tanpa disadari telah tergerus dan terkikis pengertian fundamentalnya sehingga berimplikasi pada bagaimana narasi ini hendak dioperasikan. Termasuk kegagalannya dalam menjawab persoalan yang lebih fundamental, yaitu skema besar penghancuran kemanusiaan secara global.
Baca Selanjutnya