Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat pernyataan asersif bahwa novelis Ayu Utami
tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu,
Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”, “kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”, “
superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik
Saman, seperti yang dicantumkan pada
blurb di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekadar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.
Lihat Selengkapnya