Dalam dunia puisi, salah satu persoalan penciptaan yang terpenting adalah bagaimana mempertemukan puisi dan politik dalam sebuah sajak. Bagaimana seorang penyair mesti menulis puisi politik hingga puisi tersebut benar-benar memiliki nilai estetik dan tidak terjerumus menjadi sekadar slogan politik yang dibungkus dalam penampilan sebuah puisi. Begitu pentingnya isu ini hingga, ironisnya, banyak penyair sering lupa untuk memperhitungkannya dan akibatnya hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan umum tentang kondisi sosial politik yang ada dalam baris-baris teks yang mengingatkan pembacanya kepada baris-baris dalam sebuah puisi. Pernyataan-pernyataan umum itu sendiri biasanya dilontarkan dalam nada tunggal yang sangat monoton, yaitu penyair/narator dikesankan sebagai nabi kesepian yang sedang menghujat masyarakat di sekitarnya. Kebenaran moral yang secara tak sadar diklaim dengan semena-mena oleh sang penyair/narator akhirnya hanya membuat “puisi”nya itu gagal menjadi puitis tapi berhasil menjadi retorika. Rumitnya persoalan penciptaan puisi politik bisa dibuktikan dari begitu banyaknya penyair yang menulis puisi politik, atau “sajak protes”, tapi hanya segelintir saja yang berhasil membuat namanya diakui secara umum sebagai penyair puisi politik, penyair terlibat (
engaged poet).
Lihat Selengkapnya