APA boleh buat, Kartini dan kebaya begitu lekat. Karena kebaya sedemikian rupa telah dimaknai oleh politik Orde Baru sebagai simbol perempuan peran tiga: “dapur, kasur, sumur”, tak heran jika Ibu Saparinah Sandi merasa perlu untuk kembali menegaskan citra Kartini tak terletak pada kebayanya, melainkan intelektualitasnya. Dalam makna itu, niscaya kebaya dimaknai sebagai bentuk submisif atau subordinasi perempuan.
Kebaya, agaknya, tak sekadar pakaian nasional yang menjadi ciri khas perempuan Indonesia. Di dalamnya terkandung pemaknaan dan simbol yang dihubungkan dengan (gerakan) perempuan dan bagaimana negara mendefinisikan perempuan. Tulisan ini menafsir bagaimana gerakan perempuan terhubung dengan simbol-simbol pakaian mereka dengan titik berangkat dari kebaya Kartini. Baca Selanjutnya
Perselisihan Sejarah: Sebuah Dialog tentang Aktivisme dan Gerakan Kiri
dalam Mendekolonisasi Asia
-
Di Selatan Global, penulisan sejarah adalah laku perlawanan. Narasi
teleologis tentang dekolonisasi telah menempatkan negara dan pemimpin
otoriter sebaga...
1 minggu yang lalu