Mungkinkah interaksi antarbudaya, khususnya antara dunia Barat dengan negara pascakolonial seperti Indonesia, bebas dari pengaruh relasi kekuasaan global? Bisakah manusia Indonesia dan manusia Barat bertemu sebagai partner yang statusnya sepenuhnya setara salam sebuah “pertukaran”? Sebagai ilustrasi, saya akan memberi sebuah contoh sederhana. Salah satu jenis pertukaran budaya yang cukup penting di dunia sastra adalah diundangnya sastrawan untuk berpartisipasi dalam acara sastra di luar negeri. Pertukaran semacam itu tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, termasuk biaya transportasi, akomodasi dsb. Umumnya, apabila sastrawan Indonesia diundang ke negara-negara Barat, siapa yang mendanainya? Tentu pihak yang mengundang, atau kadang-kadang lembaga funding senegaranya yang menjadi partnernya. Lalu, apabila sastrawan Barat diundang ke Indonesia, siapa yang mendanainya? Tidak jarang dananya bukan dari pihak yang mengundang, namun dari lembaga asing yang diajak bekerja sama. Dengan kata lain, kedua jenis pertukaran tersebut (seperti juga banyakan bentuk pertukaran yang lain) sama-sama membutuhkan funding dari lembaga-lembaga Barat. Dan bukankah pemberi dana sudah pasti ikut menentukan jenis kegiatan, serta memilih siapa yang akan didanai? Kalau begitu keadaannya, masih bisakah kita mempertahankan imaji indah tentang pertemuan silaturrahmi yang tulus dan tanpa kepentingan?
Lihat Selengkapnya