Sebuah sayembara mengarang nasional seperti yang dilakukan Dewan Kesenian Jakarta tentu memiliki efek berskala nasional juga pada pamor pengarang-pemenang dan karyanya, apalagi kalau mendapat ekspose khusus media massa nasional, dan oleh karena itu kita tidak bisa begitu saja melepaskannya dari isu politik pembentukan selera sastra. Diakui atau tidak, bagaimanapun Jakarta masih tetap dianggap sebagai pusat kekuasaan hegemonik dalam kanonisasi nama dan karya seperti yang bisa dilihat dari orientasi publikasi karya yang selalu ke media massa terbitan Jakarta. Dalam konteks sayembara mengarang seperti yang dilaksanakan Dewan Kesenian Jakarta tersebut, para juri memiliki kekuasaan luar biasa untuk menentukan pembentukan selera sastra masyarakat sastra Indonesia. Karenanya bukankah pemilihan “siapa” yang akan menjadi juri sayembara juga sangat penting untuk dipermasalahkan, misalnya sudah mewakili generasi pengarang muda dan pengarang perempuankah komposisi para jurinya. Dan apa sajakah “kriteria” bagi pemilihan seorang juri untuk sayembara mengarang nasional seperti itu: hanya sastrawan senior sajakah; hanya para sastrawan dan akademisi sastra sajakah; atau melibatkan semua unsur dunia intelektual kita di luar masyarakat sastra (jurnalis, perupa, pemusik, politikus, dsb). Kejelasan prosedur seperti ini, saya pikir, akan membuat penjurian sebuah sayembara mengarang nasional menjadi lebih profesional, bisa lebih diterima banyak golongan, bisa dihindarkan dari idiosinkrasi selera pribadi atau golongan kecil (komunitas tertentu), dan karenanya akan menjadi berbobot secara kritis.
Lihat Selengkapnya