Sekilas,
barcode nampak sebagai solusi di tengah menjamurnya hoax. Dengan
barcode, persoalan hoax seperti akan lenyap layaknya kutil yang dilumuri salep. Dengan
barcode pula, seolah apa yang ‘benar’ akan menjadi
clear and distinct. Meski begitu, kita mesti tilik apa yang ada di balik penerapan ini, mulai dari bagaimana negara—sebagai pihak pemberi
barcode—memahami hoax dan kerangka apa yang digunakan. Jika kita tengok pernyataan
Dewan Pers, maka hoax dianggap sebagai berita bohong dan nol-informasi. Konten ini direproduksi dan disebarkan secara luas dan massif oleh ‘oknum-oknum’ tak bertanggung jawab sehingga membuat orang-orang percaya. Sumbernya dialamatkan pada media-media non-mainstream yang dianggap tidak “kredibel”. Dari sini, kita patut bertanya: kalau memang hoax itu berasal dari media-media non-mainstream, apakah hal ini timbul begitu saja? Apakah betul kemunculan hoax berdiri sendiri secara terpisah dari relasinya terhadap media meinstream? Benarkah media mainstream tidak bertanggungjawab atas kemunculan hoax? Kenyataannya, di banyak tempat, media-media alternatif (yang tentu non-mainstream) timbul disebabkan kegagalan media mainstream dalam menjawab kebutuhan massa. Mereka berjarak dengan apa yang dibutuhkan rakyat dan berpaling pada pemaksimalan laba semata. Pemaksimalan ini juga tegak lurus dengan kedekatannya pada agenda-agenda politik elit. Lihat saja betapa banyaknya media yang dimiliki oleh politisi-politisi dan menjadi penopang agenda politik praktis mereka—bahkan ada yang mengiklankan himne salah satu partai setiap hari tanpa jeda.
Baca Selanjutnya