Jumat, 30 Oktober 2015

In Bed With Ayu Utami

Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ―(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”! Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Daftar Isi