Minggu, 27 September 2015

Begawan

Hari ini (Rabu, 25 Juni 2014), Koran Tempo di halaman tujuh memuat pernyataan Goenawan Mohamad (GM) bahwa "media massa tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya". Yang penting, menurutnya, isinya "tidak memfitnah". Untuk menguatkan pendapatnya, GM menggunakan contoh Majalah Fikiran Ra'jat yang dipimpin Soekarno pada tahun 1930-an. Bung Karno juga tidak netral ketika menulis, ujarnya. Menurut saya, "tidak harus" adalah bentuk pernyataan spekulatif penuh keraguan. Itu lebih mewakili sikap pembenaran daripada ikhtiar yang benar-benar untuk merumuskan ulang, jika itu memang diperlukan, hal-hal terkait standar jurnalistik. Dengan mengkontraskan "boleh tidak netral" dengan "fitnah" dalam posisi yang secara konseptual seolah equal, pernyataan itu secara tidak langsung juga sedang meremehkan standar liputan berimbang. Asal bukan fitnah, media boleh bersikap tidak netral dengan mengabaikan cover both sides, misalnya. Saya tidak percaya ucapan macam itu bisa keluar dari seorang yang sering disebut sebagai salah satu "empu jurnalis(tik)" di Indonesia, dan itu diucapkan pada peringatan pembredelan sebuah media yang dulu sering disebut sebagai barometer standar jurnalistik. Zaim Uchrowi dulu bahkan pernah menyebutnya sebagai kuil. Ya, kuil, tempat para rahib dan pendekar berlatih mengasah ketajaman pena dan pikiran. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Daftar Isi